Minggu, 03 Februari 2013

Kurikulum 2013, Ujian Nasional, dan Peran Guru Terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan

Berdasarkan buku Pengembangan Kurikulum 2013 (Kemdikbud, 2012), gambaran ringkas dari kurikulum baru yang akan mulai diterapkan pada Juni 2013, adalah kurikulum dikembangkan untuk mengasah tiga kompetensi peserta didik, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Sehingga standar kompetensi lulusan (SKL) dalam kurikulum baru ini dikembangkan berdasarkan ketiga ranah tersebut. Untuk mencapai SKL, proses pembelajaran akan mengedepankan pengalaman personal melalui observasi (menyimak, melihat/mengamati, membaca, mendengar), bertanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Oleh karena SKL dan proses pembelajaran dikembangkan seperti itu, maka otomatis aspek penilaian peserta didik juga mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Penilaian hasil belajar peserta didik akan dikumpulkan melalui tes dan portofolio. Penilaian harus dilakukan secara otentik untuk mengukur semua kompetensi peserta didik, dengan menggunakan instrumen utama penilaian adalah portofolio yang dibuat oleh siswa. Berarti dituntut adanya keseimbangan antara proses dan hasil. Hal ini akan diaplikasikan pada setiap jenjang pendidikan, dari SD hingga SMA. Tetapi khusus untuk SD, pendekatan dalam sistem pembelajaran yang digunakan berbasis tematik integratif. Sedangkan untuk jenjang pendidikan SMP dan SMA, menggunakan pendekatan mata pelajaran.
Mengacu dari gambaran sepintas tentang kurikulum baru di atas, muncul pertanyaan mendasar apakah ujian nasional (UN) akan tetap dilaksanakan di semua jenjang pendidikan ?. Menurut Mendikbud Mohammad Nuh, dan  Teuku Ramli Zakaria anggota Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP), yang dimuat di Kompas.com (2012). Untuk jenjang pendidikan SD, keduanya mengisyaratkan ada dua kemungkinan. Pertama, kemungkinan UN ditiadakan pada tingkat SD, dan kedua, bisa jadi UN tetap berlanjut dengan pola dan cara yang berbeda dari yang selama ini dijalankan. Kisi-kisi UN dari nasional tapi soal dibuat oleh sekolah. Sementara untuk jenjang yang lain seperti SMP dan SMA, UN tetap dijalankan seperti biasa. Untuk ke dua jenjang pendidikan ini, UN masih dianggap penting sebagai pertimbangan proses seleksi ke jenjang selanjutnya.
Kalau demikian adanya, pertanyaan besar yang kemudiaan mengemuka adalah apakah guru dapat menjalankan perannya melakukan penilaian secara optimal sesuai dengan prinsip-perinsip baku penilaian dan tuntutan kurikulum 2013 apabila UN tetap dilaksanakan ?
Dalam sistem penyelenggaraannya, terutama untuk jenjang pendidikan SMP dan SMA, UN dijadikan penentu kelulusan dan dijadikan dasar pemetaan mutu pendidikan. Inilah yang ironis dalam sistem pendidikan di Indonesia. Berdasarkan prinsip baku penilaian, pelaksanaan  penilaian dan penentuan hasil belajar peserta didik merupakan hak (kewenangan) guru. Dengan diselenggarakannya UN, berarti kewenangan yang melekat itu menjadi tercabik. Guru yang membelajarkan peserta didik dengan susah payah, pihak lain yang menentukan standar kelulusannya. Kelulusan siswa tidak ditentukan oleh guru yang memantau, mendidik, membimbing, dan membina anak didiknya selama 3 tahun dalam proses pembelajaran, tetapi cukup ditentukan dengan hasil UN selama 2 jam yang sudah ditentukan standar nilai minimalnya. Suatu hal yang tidak logis untuk menilai seseorang mampu dan tidak mampu hanya dari satu aspek saja, yaitu aspek kognitif, sedangkan intelektual yang bermoral merupakan proses yang diamati dan dinilai oleh orang yang membmbing, orang yang membina.  Di sini peran guru dikebirikan. Beberapa kasus terjadi, ada seorang siswa yang sering menjuarai berbagai olimpiade sampai tingkat Nasional, berperilaku baik dan santun namun pada saat kelulusan ia dinyatakan tidak lulus. Di sisi lain ada seorang siswa yang kurang baik dalam berperilaku, sering bolos dan tidak sopan, namun ia mendaat nilai tertinggi saat kelulusan. Sungguh ketidak adilan dalam hal ini sangat menonjol.
Disamping itu, dengan adanya kebijakan  yang   memposisikan hasil UN sebagai penentu kelulusan menjadi momok yang menakutkan bagi peserta didik, sekolah dan pemerintah daerah. Kehawatiran untuk tidak lulus, mendorong mereka untuk mencari cara agar bisa lulus, walaupun cara tersebut bertentangan dengan aturan yang berlaku. Hal ini telah terbukti dalam banyak kasus yang muncul seiring dengan pelaksanaan UN setiap tahunnya. Dengan demikian, kredibilitas penyelenggaraan UN menjadi diragukan.
Di sinilah permasalahan pendidikan di Indonesia yang memunculkan suatu pertanyaan terhadap kelulusan siswa yang hanya ditentukan oleh 3 atau lebih materi Ujian Nasional, sedangkan materi lain dan keaktifan serta intelektual siswa lainnya yang menyangkut aspek afektif dan psikomotorik siswa tidak dinilai. Sehingga alangkah bijaksananya apabila UN tidak dijadikan penentu kelulusan, dan terasa menggelikan apabila hasil UN masih dijadikan dasar pemetaan mutu pendidikan. Janganlah UN “didewakan” dalam sistem  pendidikan. Bila UN tetap ngotot ingin dipertahankan, sepatutnya dicarikan formula (sistem) yang tidak lagi mengakomudir ke dua hal itu. Bila perlu penilaian sepenuhnya dikembalikan kepada guru. Merekalah yang memiliki hak utama dalam penilaian, karena lebih tahu tentang peserta didiknya. Dengan demikian para guru tidak perlu merasa dikebiri haknya dalam menilai peserta didiknya sendiri.
Apabila pelaksanaan UN masih tetap dipertahankan dengan menggunakan sistem seperti saat ini, maka peran guru sebagai pengajar sekaligus pendidik akan tetap kurang menentukan hasil pendidikan. Sebagai mana telah kita ketahui bersama, guru dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi ganda, sebagai pengajar dan pendidik, maka guru secara otomatis mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai kemajuan pendidikan.
“Guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Pepatah ini dapat memberi kita pemahaman bahwa betapa besarnya peran guru dalam dunia pendidikan pada saat masyarakat mulai menggugat kualitas pendidikan yang dijalankan di Indonesia. Tidak perlu bangga dan terlena dengan hasil UN. Masih banyak hal terkait yang harus dibenahi, sehingga guru dapat menjalankan profesionalnya dengan optimal. Misalnya, masalah peningkatan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, dan kesejahteraan guru.
Menyadari keseluruhan uraian di atas, kiranya dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa bagaimana pun UN dengan sistim yang sekarang tidak sesuai dengan semangat atau tuntutan yang terkandung dalam kurikulum 2013, yang menuntut penilaian pada semua ranah (kognitif, afektif, dan psikomotor). UN juga tidak sejalan dengan prinsip-prinsip baku penilaian, serta telah mengebiri hak dan mencabik peranan guru dalam meningkatkan mutu pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar